Minggu, 15 Mei 2016

Makalah Filsafat Islam



     A.   Pengertian Filsafat dan Objeknya
Pembicaraan tentang filsafat Islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara umum. Berpikir filsafat merupakan hasil usaha manusia yang berkesinambungan di seluruh jagad raya. Akan tetapi berpikir filsafat dalam arti berpikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani. Oleh karena itu, sebelum kita memperkenalkan filsafat Islam secara Khusus, ada baiknya kita perkenalkan terlebih dahulu filsafat secara umum.
Akal merupakan salah satu anugerah Allah. Swt. Yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.[1]
Ada dua bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bukan berdaarkan hasil usaha aktif dari manusia dan pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan pertama diperoleh manusia melalui wahyu, sedangkan pengetahuan kedua diperoleh manusia melalui indra dan akal.[2]
Filsafat adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philoshopos.[3] Philo, berarti cinta (Loving), sedangkan Sophia atau Sophos, berarti pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom). Jadi, filsafat secara sederhana berarti cinta yang dimaksudkan disini adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai kedasar segala dasar.
Kemudian, orang Arab memindahkan kata Yunani philoshopia ke dalam bahasa Arab menjadi falsafah. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan kata-kata Arab dengan pola fa ‘lala, fa’ lalah, dan fi’ lal. Karena itu, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan filsaf.[4] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ii terpakai dengan sebutan filsafat.[5]
Dalam buku-buku atau referensi ditemukan pelbagai definisi filsafat. Keragaman definisi ini menandakan luasnya lingkungan bahasan filsafat. Namun, pada prinsipnya dalam keragaman tersebut terdapat keseragaman tujuan. Oleh karena itu, secara simple dapat dikatakan, filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (Radikal).
Dilihat dari uraian diatas bahwa berpikir filsafat mengandung cirri-ciri rasional, sistematis, universal atau menyeluruh, dan mendasar atau radikal. Berpikir rasional mutlak diperlukan dalam berfilsafat. Rasional mengandung arti bahwa bagian-bagian pemikiran tersebut berhubungan antara satu dan lainnya secara logis. Kalau diibaratkan sebagai satu bagan, bagan tersebut adalah bagan yang berisi kesimpulan yang “diperoleh dari premise-premise.” Sistematis juga termasuk cirri-ciri berpikir filsafat. Kegiatan kefilsafatan bukanlah berpikir secara kebetulan. Akan tetapi, ia harus berdasarkan aturan-aturan penalaran atau logika. Pada dasarnya berpikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun suatu system pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri. Menyeluruh atau universal termasuk juga cirri atau karakteristik berpikir filsafat. Seorang filosof dalam mencari kebenaran atau hakikat segala sesuatu, kebenaran atrau hakikat ini harus dinyatakan dalam bentuk umum atau komprehensif. Dengan kata lain, berpikir filsafat tidak boleh ada satu sisi pun yang tertinggal, tetapi harus tercakup didalamnya secara keseluruhan. Begitu juga dengan cirri berfilsafat berikutnya, ialah mendasar atau radikal. Telah disebutkan bahwa ilmu atau sains hanya mampu member penjelasan sebatas pengalaman atau kenyataan empiris, sedangkan berpikir filsafat lebih jauh dari itu, yakni akan sampai ke dasar segala dasar. Dengan demikian, tidak ada satu tapal batas pun atau suatu yang tabu bagi kegiatan berpikir filsafat.
Adapun objek bahasan filsafat terbagi menjadi tiga bahasan pokok:
1.    Al-Wujud atau Ontologi;
2.    Al- ma’rifat atau Epistemologi;
3.    Al-Qayyim atau aksiologi.[6]




Pembahasan Ontologi mencakup hakikat segala yang ada (al-majudat). Dalam dunia filsafat “yang mungkin ada” termasuk dalam pengertian “yang ada” dengan kata lain, “yang mungkin ada’ merupakan salah satu jenis “yang ada”. Dan ia tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok “yang tiada,” dalam arti tidak ada atau dalam bahasa lain “mustahil ada.”
Pada umumnya bahassan “yang ada” (al-majudat) terbagi menjadi dua bidang, yakni fisika dan metafisika membahas etuhanan dan masalah yang immateri. Pembahasan Epistemologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori, teori pertama yang disebut dengan realism berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal, jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.
Pembahasan Aksiologi bersangkutan dengan hakikat nilai dalam menentukan hakikat atau ukuran baik dan buruk dibahas dalkam filsafat etika atau akhlak. Dalam menentukan hakikat atau ukuran benar atau salah dibahas dalam filsafat logika atau mantiq. Dalam menentukkan hakikat atau ukuran indah dan tidaknya dibahas dalam filsafat estetika atau jamal.[7]





[1] Lihat: QS : An-Nahl (16):78.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 1-2.
[3] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984), Cet. IV, Hlm. 13.
[4] Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. I., Hlm. 7.
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. III, Hlm. 242.
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 6-7.
[7] Umar Muhammad Al-Taumiy Al-Syibaniy, Muqaddamat fi a al-falsafah al-Islamiyat, (Tripoli: al-Dar al-‘Arabiyyat li al-Kitab, 1976), Cet. II, Hlm. 30-31.

Tidak ada komentar: