A.
Pengertian
Filsafat dan Objeknya
Pembicaraan tentang filsafat Islam tidak bisa terlepas
dari pembicaraan filsafat secara umum. Berpikir filsafat merupakan hasil usaha
manusia yang berkesinambungan di seluruh jagad raya. Akan tetapi berpikir
filsafat dalam arti berpikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak
dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani.
Oleh karena itu, sebelum kita memperkenalkan filsafat Islam secara Khusus, ada
baiknya kita perkenalkan terlebih dahulu filsafat secara umum.
Akal merupakan salah satu anugerah Allah. Swt. Yang
paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin
tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang
dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan
belum mengetahui apa-apa.[1]
Ada dua bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bukan
berdaarkan hasil usaha aktif dari manusia dan pengetahuan yang berdasarkan
hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan pertama diperoleh manusia melalui wahyu,
sedangkan pengetahuan kedua diperoleh manusia melalui indra dan akal.[2]
Filsafat adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa
Yunani, yakni philoshopos.[3]
Philo, berarti cinta (Loving), sedangkan Sophia atau Sophos, berarti
pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom). Jadi,
filsafat secara sederhana berarti cinta yang dimaksudkan disini adalah dalam
arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia
berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang
dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam sampai ke
akar-akarnya atau sampai kedasar segala dasar.
Kemudian, orang Arab memindahkan kata Yunani philoshopia ke dalam bahasa Arab menjadi
falsafah. Hal ini sesuai dengan
tabiat susunan kata-kata Arab dengan pola fa
‘lala, fa’ lalah, dan fi’ lal. Karena
itu, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya
falsafah dan filsaf.[4]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ii terpakai dengan sebutan
filsafat.[5]
Dalam buku-buku atau referensi ditemukan pelbagai
definisi filsafat. Keragaman definisi ini menandakan luasnya lingkungan bahasan
filsafat. Namun, pada prinsipnya dalam keragaman tersebut terdapat keseragaman
tujuan. Oleh karena itu, secara simple dapat dikatakan, filsafat adalah hasil
proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis,
menyeluruh (universal), dan mendasar (Radikal).
Dilihat
dari uraian diatas bahwa berpikir filsafat mengandung cirri-ciri rasional,
sistematis, universal atau menyeluruh, dan mendasar atau radikal. Berpikir
rasional mutlak diperlukan dalam berfilsafat. Rasional mengandung arti bahwa
bagian-bagian pemikiran tersebut berhubungan antara satu dan lainnya secara
logis. Kalau diibaratkan sebagai satu bagan, bagan tersebut adalah bagan yang
berisi kesimpulan yang “diperoleh dari premise-premise.” Sistematis juga
termasuk cirri-ciri berpikir filsafat. Kegiatan kefilsafatan bukanlah berpikir
secara kebetulan. Akan tetapi, ia harus berdasarkan aturan-aturan penalaran
atau logika. Pada dasarnya berpikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun
suatu system pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu
termasuk diri kita sendiri. Menyeluruh atau universal termasuk juga cirri atau
karakteristik berpikir filsafat. Seorang filosof dalam mencari kebenaran atau
hakikat segala sesuatu, kebenaran atrau hakikat ini harus dinyatakan dalam
bentuk umum atau komprehensif. Dengan kata lain, berpikir filsafat tidak boleh
ada satu sisi pun yang tertinggal, tetapi harus tercakup didalamnya secara
keseluruhan. Begitu juga dengan cirri berfilsafat berikutnya, ialah mendasar
atau radikal. Telah disebutkan bahwa ilmu atau sains hanya mampu member
penjelasan sebatas pengalaman atau kenyataan empiris, sedangkan berpikir
filsafat lebih jauh dari itu, yakni akan sampai ke dasar segala dasar. Dengan
demikian, tidak ada satu tapal batas pun atau suatu yang tabu bagi kegiatan
berpikir filsafat.
Adapun objek bahasan filsafat terbagi
menjadi tiga bahasan pokok:
1. Al-Wujud
atau Ontologi;
2. Al- ma’rifat atau
Epistemologi;
Pembahasan Ontologi
mencakup hakikat segala yang ada (al-majudat).
Dalam dunia filsafat “yang mungkin ada” termasuk dalam pengertian “yang
ada” dengan kata lain, “yang mungkin ada’ merupakan salah satu jenis “yang
ada”. Dan ia tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok “yang tiada,” dalam arti
tidak ada atau dalam bahasa lain “mustahil ada.”
Pada umumnya bahassan “yang ada” (al-majudat) terbagi menjadi dua bidang, yakni fisika dan
metafisika membahas etuhanan dan masalah yang immateri. Pembahasan Epistemologi bersangkutan dengan hakikat
pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat
diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori, teori
pertama yang disebut dengan realism berpandangan bahwa pengetahuan adalah
gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran
atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat
di luar akal, jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.
Pembahasan Aksiologi
bersangkutan dengan hakikat nilai dalam menentukan hakikat atau ukuran baik dan
buruk dibahas dalkam filsafat etika atau akhlak. Dalam menentukan hakikat atau
ukuran benar atau salah dibahas dalam filsafat logika atau mantiq. Dalam menentukkan
hakikat atau ukuran indah dan tidaknya dibahas dalam filsafat estetika atau jamal.[7]
[1] Lihat: QS : An-Nahl (16):78.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam
(Filosof dan Filsafatnya), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 1-2.
[3] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984), Cet.
IV, Hlm. 13.
[4] Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. I., Hlm. 7.
[5] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. III, Hlm. 242.
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam
(Filosof dan Filsafatnya), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm. 6-7.
[7] Umar Muhammad Al-Taumiy Al-Syibaniy,
Muqaddamat fi a al-falsafah al-Islamiyat,
(Tripoli: al-Dar al-‘Arabiyyat li al-Kitab, 1976), Cet. II, Hlm. 30-31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar