DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-------------
EKONOMI PEMBANGUNAN
KHUSUSNYA EKONOMI PEMBANGUNAN DAERAH
Dipersentasikan
Oleh:
AJRUL MUKSININ. S. Kom. I. MA.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun
2004 tentang perubahan atas UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, maka terjadi
pula pengesahan dalam pembangunan ekonomi yang bersifat sentralisasi yang
mengarah pada desentralisasi, yaitu memberikan keleluasaan kepada daerah untuk membangun
wilayahnya sendiri.
Pembangunan daerah melalui mekanisme pengambilan
keputusan otonomi diyakini mampu merespons permasalahan actual yang akan sering
muncul. Otonomi dalam adimistrasi pembngunan dirasakan makin relevan sejalan dengan
keragaman social dan ekonomi suatu wilayah.
Pengertian dan penerapan pembangunan daerah umumnya
dikaitkan dengan kebijakan ekonomi atau keputusan politik. Dasar Hukum Penyelengaraan
Pembangunan Daerah bersumber dari UU Negara RI 1945 Bab IV Pasal 18. Hingga saat
ini iplementasi formal pasal tersebut terdiri tiga momentum penting, yaitu UU
No. 22 Tahun 1999 serta UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebelum tahun 1974, bukan saja Pembangunan Daerah, Pembangunan nasional juga diakui
belum didefinisikan secara baik. Iplementasi Pembangunan Daerah berdasar UU No.
5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
Terdapat
2 nilai dasar yang dikembangkan dalam UU
1945 berkenaan dengan pelaksanaan Desentralisasi dan otonomi daerah Nilai Dasar
Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 UUD 1945 : “Pemerintah diwajibkan
untuk melaksanakan politik Desentralisasi dan Dekonsentrasi di bidang ketata
negaraan.
Menurut
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bersifat
otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah yaitu:
1.
Daerah Provinsi
2.
Daerah kabupaten
3.
Daerah Kota.
Perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan
otonomi Daerah.
1.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Tentang
pokok-pokok Pemerintah Daerah.
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah.
3.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
4.
Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang
Tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah.
5.
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
6.
PERPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah pasal 1 angka 18.
“Bahwa Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya
disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”
UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 157, Yaitu.
1)
Hasil Pajak Daerah
2)
Hasil Retribusi Daerah
3)
Hasil pengelolaan Kekayaan daerah yang
dipisahkan.
Menurut Ahli Lincolin Arsyad :
Pengertian pembangunan ekonomi daerah adalah
sebagai suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya. Mengelola
Sumber Daya Alam yang ada dan membentuk suatu pola kerjasama antara pemerintah
dan pihak swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
kegiatan pertumbuhan ekonomi diwilayah tersebut.
Dalam pembangunan ekonomi daerah yang menjadi
pokok permasalahannya adalah terletak pada kebijakan-kebijakan pemerintah
daerah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses yang mencakup
pembentukkan institusi-institusi baru. Pembangunan industry-industri
alternative. Perbaikan kapasitas tenaga kerja dan menghasilkan produk dan jasa
yang lebih baik.
B.
Identifikasi Masalah
1.
Permasalahan Legislasi Daerah
Sejak
diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, daerah berlomba-lomba untuk
mengejar pembangunan daerah dengan berupaya semaksimal mungkin menggali potensi
daerahnya, antara lain melalui optimalisasi perolehan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dalam perkembangannya, keinginan daerah untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi daerahnya tersebut diwujudkan dengan membuat berbagai peraturan daerah
yang berorientasi kepada kontribusi ekonomi daerah.
Undang-undang
No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukkan
peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari tingkat pusat hingga
daerah. Dalam undang-undang tersebut dengan tegas telah diatur asas
pembentukkan peraturan perundang-undangan; perencanaan peraturan
perundang-undangan; penyususunan peraturan perundangan; pembahasan Rancangan
Undang-undang; Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-undang; Pembahasan
dan penetapan Rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan peraturan
daerah; kabupaten/kota; peraturan perundang-undangan ; penyebarluasan;
partisipasi masyarakat dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan; dan
ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukkan keputusan presiden dan
lembaga Negara serta pemerintah lainnya. Namun, dalam praktiknya banyak
peraturan perundang-undangan diatasnya sehingga harus dicabut. Pada sisi lain
peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah masih banyak yang cenderung
memberatkan masyarakat maupun investor, sehingga berdampak kontra produktif
bagi daerah itu sendiri.
2.
Keberpihakan Legislasi Daerah dalam Pengembangan
Investasi daerah
Pembangunan
ekonomi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh kesiapan daerah dalam
menyiapkan sarana dan prasarana fisik tetapi juga ditentukan oleh kesiapan
instrument hokum yang menjadi dasar dari pembangunan ekonomi daerah tersebut.
Jaminan kepastian hokum dan keamanan berinvestasi menjadi parameter bagi para
investor untuk menanamkan modalnya di
daerah yang selanjutnya dapat mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
daerah dalam hal ini peneggakan hokum dari instrument hokum yang tersedia juga
turut menjadi penentu keberhasialan pembangunan ekonomi suatu daerah.
Dalam
menyiapkan perangkat hokum sebagai dasar legalitas pelaksanaan penyelenggaraan
pembangunan didaerah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dituntut pula
menerapkan prinsip penyelenggaraan Negara yang bersih. Sesuai dengan ketentuan
undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan
Negara dan Bebas dari Praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme serta perbauatan
tercela lainnya.
Dengan
demikian pembangunan daerah yang dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintah didaerah harus mencerminkan asas umum penyelenggara Negara dengan
mengimplementasikan asas-asas yang meliputi asas kepastian, hokum, tertib
penyelenggara Negara, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas,
proposionalitas, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi.[1]
Dalam
perkembangannya prinsip penyelenggara Negara yang bersih yang pada hakikatnya
merupakan pengembangan dari asas pemerintah yang baik (Aqlemene beginselen van behoorlijk) juga berkaitan erat dengan
prinsip yang dikenal dengan Goog
Governance, yang muncul seiring dengan perkembangan tuntutan terhadap
kualitas demokrasi dan hak asasi manusia sementara masyarakat melihat
kecendrungan munculnya penyimpangan kepercayaan public (Abuse of public trust) akibat tidak efektifnya pemerintahan.[2]
Pemerintah
daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI yang menganut paham Negara
hokum, dalam mengeluarkan setiap kebijakan wajib berpedoman pada
ketentuan-ketentuan hokum yang menjamin dan melindungi hak-hak warganya
disegala bidang. Sejalan dengan hal tersebut kebijakan daerah melalui penerapan
regulasi daerah yang ditunjukkan untuk pembangunan ekonomi daerah dituntut “Ramah Investasi” yang antara lain dapat dilihat dari
perangkat regulasi daerah dibidang perizinan.
Dalam
pengaturan perizinan investasi, banyak daerah menerapkan konsep pelayanan
perizinan (One stop service system) namun,
implementasi konsep tersebut tidak banyak membuat perubahan positif pada level
bawah karena investor masih merasakan birokrasi yang berbelit, seperti
persyaratan waktu dan biaya yang tidak dapat diukur dan dipastikan.
3.
Ketimpangan dalam kebijakan
Ketimpangan
pengelolaan merupakan wujud paling nyata dari kelemahan internal kekuasaan yang
diharapkan mampu melaksanakan internal kekuasaan yang diharapkan mampu
melaksanakan agenda pembangunan nasional. Rezim kekuasaan tidak sungguh-sungguh
memecahkan masalah kosentrasi spasial pembangunan nasional yang hanya terfokus
diwilayah-wilayah kota besar. Akibat yang ditimbulkan bukan hanya
bertali-temali dengan urbanisasi yang massif dan berskala besar serta kian
tidak terbendung dari tahun ke tahun.[3]
Pemerataan
pembangunan merupakan tantangan bagi pemerintah. Pemerintah harus
memprioritaskan alokasi penggunaan dana untuk pendidikan dan kesehatan serta
pembangunan infrastruktur yang dapat mempermudah mobilisasi masyarakat dan
menjadi stimulus bagi berkembangnya ekonomi pada sector riil didaerahnya,
kebijakan pemerataan pemerintah harus dibuat agar masyarakat merasakan keberadaan
Negara yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
o Konsepsi
ketimpangan Dan kebijakan
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah
adalah untuk mengurangi ketimpangan (Disparity) peningkatan pendapatan
perkapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun
meningkatnya pendapatan perkapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi
pendapatan lebih merata.
Seringkali di Negara-negara berkembang dalam
perekonomiannya lebih menekankan pembangunan modal dari pada tenaga kerja.
Sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian
masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara
merata oleh seluruh lapisan masyarakat maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi
ketimpangan mengacu pada teori ekonomi pembangunan, terdapat beberapa
bentuk-bentuk ketimpangan dalam pembangunan daerah.
o Ketimpangan
Pembangunan Antar Daerah
Proses akumulasi dan mobilisasi
sumber-sumber, berupa, akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber
daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam lajun
pertumbhunan ekonomi wilayah yang bersangkutan adanya heterogenitas, dan
beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya
ketimpangan antar daeerah dan antar sector ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak
dari kenyataan itu, ketimpangan/kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi
logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu
sendiri.[4]