Minggu, 30 September 2018

PERJUANGKAN BAITUL MAQDIS, PALESTINA SERET AMERIKA KE MAHKAMAH INTERNASIONAL



Spirit of Aqsa - Al-Quds | Otoritas Palestina telah mengajukan dakwaan terhadap pemerintah Amerika Serikat (AS) ke Mahkamah Internasional (IJC) yang berlokasi di Den Haag, Belanda. Dakwaan tersebut adalah protes atas langkah AS yang merelokasi Kedutaannya untuk penjajah Israel dari Tel Aviv ke Baitul Maqdis yang merupakan wilayah Palestina.


Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki dalam pernyataan pada Sabtu kemaren(29/09), yang menyatakan bahwa pihaknya telah memenuhi segala persayaratan yang diperlukan, maka secara resmi kasus ini telah dikirim ke IJC.

“Negara Palestina saat ini melembagakan tuntutan hukum terhadap Amerika Serikat kepada Mahkamah Internasional (IJC) sebagai badan peradilan utama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).” tulis rilis Otoritas Palestina seperti dikutip pada Reuters pada Sabtu (29/09).

Gugatan yang diajukan Otoritas Palestina tersebut sebagai sikap perlawanan dan penegakan keadilan dunia atas langkah provokatif AS yang telah melanggar kesepakatan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik dan resolusi Dewan Keamanan AS.

“Kami membela hak-hak kami dan rakyat kami tanpa ragu, dan kami (Palestina-red) menolak segala bentuk pemerasan"

Desember tahun lalu, Presiden AS membuat keputusan sepihak yang memicu kecaman dari berbagai masyarakat internasional yaitu pengakuan AS, bahwa Baitul Maqdis sebagai ibukota Israel.

Seperti diketahui bahwa Baitul Maqdis berada di jantung konflik Timur Tengah. Palestina berharap bahwa Baitul Maqdis yang telah diduduki oleh Israel sejak 1967 bisa kembali seutuhnya sebagai ibu kota Negara Palestina merdeka.

Donasi Palestina: bit.ly/JihadHartaAqsa



Selasa, 14 Agustus 2018

EKONOMI PEMBANGUNAN KHUSUSNYA EKONOMI PEMBANGUNAN DAERAH




DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-------------

EKONOMI PEMBANGUNAN KHUSUSNYA EKONOMI PEMBANGUNAN DAERAH

Dipersentasikan
 









Oleh:

AJRUL MUKSININ. S. Kom. I. MA.




DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
2016




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dengan berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, maka terjadi pula pengesahan dalam pembangunan ekonomi yang bersifat sentralisasi yang mengarah pada desentralisasi, yaitu memberikan keleluasaan kepada daerah untuk membangun wilayahnya sendiri.
Pembangunan daerah melalui mekanisme pengambilan keputusan otonomi diyakini mampu merespons permasalahan actual yang akan sering muncul. Otonomi dalam adimistrasi pembngunan dirasakan makin relevan sejalan dengan keragaman social dan ekonomi suatu wilayah.
Pengertian dan penerapan pembangunan daerah umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi atau keputusan politik. Dasar Hukum Penyelengaraan Pembangunan Daerah bersumber dari UU Negara RI 1945 Bab IV Pasal 18. Hingga saat ini iplementasi formal pasal tersebut terdiri tiga momentum penting, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 serta UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebelum tahun 1974, bukan saja Pembangunan Daerah, Pembangunan nasional juga diakui belum didefinisikan secara baik. Iplementasi Pembangunan Daerah berdasar UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
Terdapat 2 nilai dasar yang dikembangkan dalam  UU 1945 berkenaan dengan pelaksanaan Desentralisasi dan otonomi daerah Nilai Dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 UUD 1945 : “Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik Desentralisasi dan Dekonsentrasi di bidang ketata negaraan.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bersifat otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah yaitu:
1.     Daerah Provinsi
2.     Daerah kabupaten
3.     Daerah Kota.

Perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi Daerah.
1.     Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah.
2.     Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
3.     Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
4.     Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah.
5.     Undang-undang No. 33 Tahun 2004 perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
6.     PERPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah.

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah pasal 1 angka 18.

“Bahwa Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”

UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 157, Yaitu.
1)     Hasil Pajak Daerah
2)     Hasil Retribusi Daerah
3)     Hasil pengelolaan Kekayaan daerah yang dipisahkan.

Menurut Ahli Lincolin Arsyad :
Pengertian pembangunan ekonomi daerah adalah sebagai suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya. Mengelola Sumber Daya Alam yang ada dan membentuk suatu pola kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang kegiatan pertumbuhan ekonomi diwilayah tersebut.
Dalam pembangunan ekonomi daerah yang menjadi pokok permasalahannya adalah terletak pada kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses yang mencakup pembentukkan institusi-institusi baru. Pembangunan industry-industri alternative. Perbaikan kapasitas tenaga kerja dan menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik.


B.     Identifikasi Masalah
1.   Permasalahan Legislasi Daerah
Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, daerah berlomba-lomba untuk mengejar pembangunan daerah dengan berupaya semaksimal mungkin menggali potensi daerahnya, antara lain melalui optimalisasi perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam perkembangannya, keinginan daerah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi daerahnya tersebut diwujudkan dengan membuat berbagai peraturan daerah yang berorientasi kepada kontribusi ekonomi daerah.
Undang-undang No. 12  Tahun 2011 tentang pembentukkan peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Dalam undang-undang tersebut dengan tegas telah diatur asas pembentukkan peraturan perundang-undangan; perencanaan peraturan perundang-undangan; penyususunan peraturan perundangan; pembahasan Rancangan Undang-undang; Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-undang; Pembahasan dan penetapan Rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan peraturan daerah; kabupaten/kota; peraturan perundang-undangan ; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukkan keputusan presiden dan lembaga Negara serta pemerintah lainnya. Namun, dalam praktiknya banyak peraturan perundang-undangan diatasnya sehingga harus dicabut. Pada sisi lain peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah masih banyak yang cenderung memberatkan masyarakat maupun investor, sehingga berdampak kontra produktif bagi daerah itu sendiri.

2.   Keberpihakan Legislasi Daerah dalam Pengembangan Investasi daerah
Pembangunan ekonomi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh kesiapan daerah dalam menyiapkan sarana dan prasarana fisik tetapi juga ditentukan oleh kesiapan instrument hokum yang menjadi dasar dari pembangunan ekonomi daerah tersebut. Jaminan kepastian hokum dan keamanan berinvestasi menjadi parameter bagi para investor  untuk menanamkan modalnya di daerah yang selanjutnya dapat mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam hal ini peneggakan hokum dari instrument hokum yang tersedia juga turut menjadi penentu keberhasialan pembangunan ekonomi suatu daerah.
Dalam menyiapkan perangkat hokum sebagai dasar legalitas pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan didaerah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dituntut pula menerapkan prinsip penyelenggaraan Negara yang bersih. Sesuai dengan ketentuan undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara dan Bebas dari Praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme serta perbauatan tercela lainnya.
Dengan demikian pembangunan daerah yang dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah didaerah harus mencerminkan asas umum penyelenggara Negara dengan mengimplementasikan asas-asas yang meliputi asas kepastian, hokum, tertib penyelenggara Negara, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, proposionalitas, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi.[1]
Dalam perkembangannya prinsip penyelenggara Negara yang bersih yang pada hakikatnya merupakan pengembangan dari asas pemerintah yang baik (Aqlemene beginselen van behoorlijk) juga berkaitan erat dengan prinsip yang dikenal dengan Goog Governance, yang muncul seiring dengan perkembangan tuntutan terhadap kualitas demokrasi dan hak asasi manusia sementara masyarakat melihat kecendrungan munculnya penyimpangan kepercayaan public (Abuse of public trust) akibat tidak efektifnya pemerintahan.[2]

Pemerintah daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI yang menganut paham Negara hokum, dalam mengeluarkan setiap kebijakan wajib berpedoman pada ketentuan-ketentuan hokum yang menjamin dan melindungi hak-hak warganya disegala bidang. Sejalan dengan hal tersebut kebijakan daerah melalui penerapan regulasi daerah yang ditunjukkan untuk pembangunan ekonomi daerah dituntut “Ramah Investasi”  yang antara lain dapat dilihat dari perangkat regulasi daerah dibidang perizinan.
Dalam pengaturan perizinan investasi, banyak daerah menerapkan konsep pelayanan perizinan (One stop service system) namun, implementasi konsep tersebut tidak banyak membuat perubahan positif pada level bawah karena investor masih merasakan birokrasi yang berbelit, seperti persyaratan waktu dan biaya yang tidak dapat diukur dan dipastikan.

3.   Ketimpangan dalam kebijakan
Ketimpangan pengelolaan merupakan wujud paling nyata dari kelemahan internal kekuasaan yang diharapkan mampu melaksanakan internal kekuasaan yang diharapkan mampu melaksanakan agenda pembangunan nasional. Rezim kekuasaan tidak sungguh-sungguh memecahkan masalah kosentrasi spasial pembangunan nasional yang hanya terfokus diwilayah-wilayah kota besar. Akibat yang ditimbulkan bukan hanya bertali-temali dengan urbanisasi yang massif dan berskala besar serta kian tidak terbendung dari tahun ke tahun.[3]

Pemerataan pembangunan merupakan tantangan bagi pemerintah. Pemerintah harus memprioritaskan alokasi penggunaan dana untuk pendidikan dan kesehatan serta pembangunan infrastruktur yang dapat mempermudah mobilisasi masyarakat dan menjadi stimulus bagi berkembangnya ekonomi pada sector riil didaerahnya, kebijakan pemerataan pemerintah harus dibuat agar masyarakat merasakan keberadaan Negara yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
o   Konsepsi ketimpangan Dan kebijakan
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan  (Disparity) peningkatan pendapatan perkapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan perkapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata.
Seringkali di Negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan pembangunan modal dari pada tenaga kerja. Sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan mengacu pada teori ekonomi pembangunan, terdapat beberapa bentuk-bentuk ketimpangan dalam pembangunan daerah.
o   Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah
Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa, akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam lajun pertumbhunan ekonomi wilayah yang bersangkutan adanya heterogenitas, dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daeerah dan antar sector ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, ketimpangan/kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.[4]